Muara





Muara

~Tatkala ku melihat muara, ku selalu teringat pada senyum hangatmu, aku takjub pada muara yang tak pernah terpengaruh, ia tempat  singgah yang terakhir. Aku ingat kata - kata lembutmu yang membuatku seperti musim gugur menjatuhkan dedaunan dan kapas-kapas membuatnya berterbangan mengikuti arah angin sama sepertiku yang tak pernah bisa untuk menolak perkataanmu, membuatku luluh setiap saat. Kau tahu? semua yang ada pada dirimu begitu indah sehingga aku tak ingin melepasmu. 

~Untuk musim gugur dan Venice sang inspirasi

CHAPTER 1 

           Banyak impian yang dipikirkan Haura gadis bertubuh mungil ini tatkala menyantap spaggetinya. Kini usianya mengijak 22 tahun, ia adalah seorang pemikir ia suka sekali dengan puisi. Hari demi hari ia menuangkan perasaannya pada puisi. Remaja melankonis yang introvert dengan dunia imajinasinya. 
Kini ia berjalan menuju kampusnya di Ca' Foscari University of Venice ia mendapat beasiswa S2 di jurusan sastra Inggris berawal dari sebuah mimpi yang ia tuliskan. Tahun pertama hari pertama ia memulai perkuliahannya. Haura hanya mengenal satu orang kota Vinice saat ini, Emily ia adalah seorang teman yang berasal dari Indonesia yang juga mendapat beasiswa sama sepertinya. Belum banyak yang ia ketahui tentang Venice yang amat cantik ini, bahkan begitu awal untuk mengetahuinya juga. Ia hanya mengenal sekilas saja melalui rambahan di Internet sebelum ia memulai tuk benar - benar singgah. Ia hanya fokus pada study dan impian - impian yang ia tuliskan menjadi puisi. Seperti biasa Kelas pertama yang berjalan sesuai harapan Haura. Tenang tak terusik siapapun dan apapun. Ia berharap Emily dapat menjadi patner perkulian yang baik. Begitupun dengan Emily yang berpikiran sama. Saling bantu dan memberi motivasi. 
“Haura apa kau ingin langsung ke Asrama?” Tanya Emily setelah kelas berakhir
“Iya Emily” 
“Aku kira hari ini begitu cerah ra sebelum ke Asrama, bagaimana kalau kita makan di alun-alun?”
“Baiklah, ayo Em”
Banyak pejalan kaki memenuhi jalan Vinice. Mereka singgah di sebuah kafe dekat danau yang dihiasi gondola sambil menyantap pizza dengan secangkir coklat panas. Mereka banyak mengobrol hal pribadi yang lumrah mengetahui satu sama lain untuk awal menjadi teman. 

CHAPTER 2 


~Ia seseorang yang seperti coklat. Begitu lembut dan manis, membuat siapapun meleleh, membuat hati yg terluka menjadi sembuh dengan belaian lembut nan menenangkan, membuat seseorang kecanduan akan dirinya. Aku sangat menginginkan ia. Seseorang yang seperti coklat itu. Bolehkah?

      Hari kian sore, matahari digantikan dengan gemerlap lampu disetiap jalan. Mereka berjalan berdampingan sambil mengobrol ringan. Mereka begitu asik mengobrol, namun obrol itu tiba - tiba menjadi bencana, ada seorang pencopet. Ia mencopet  dompet milik Haura. Haura sangat terkejut dengan kejadian itu membuatnya bergeming. Mematung beberapa saat. Kakinya lemas. Dalam hatinya ia berdoa ‘Tuhan kirimkan seseorang tuk membantuku’. Sedangkan Emily berteriak berulangkali “Aiuto, borseggiatori!”(Tolong, ada copet!). Haura berusaha menyadarkan dirinya. Ia mulai mengejar copet tersebut bersama Emily, mereka terengah- engah lalu Haura  meringkuk jongkok sejenak sedangkan Emily masih mengejar pencopet dan berteriak seperti itu berulangkali. “Stai bene?” (Apa kamu baik-baik saja?)  Suara itu bukan dari Emily yg berbicara bahasa Italy melainkan seorang pria yang berjalan bersama Emily menghampiri Haura. Haura menengok ke sumber suara tersebut tanpa menjawab pertanyaan pria asing itu. Mereka saling menatap. Pria dengan mata seperti lautan dan rambut hazel berkilau. Jatung Haura berdetak kencang entah itu efek lari dari mengejar pencopet atau melihat pria asing tersebut. Bagaimana menurut kalian?. Haura bergegas berdiri. Pria itu bertanya padanya 
“È questo il tuo portafoglio, signorina?”( ini dompet milik Anda nona?)  Pria itu mengelurkan dompet milik Haura. 
“Sto bene, grazie mille” (Saya baik-baik saja Terima masih) Haura dengan pelannya. 
“Grazie, signore, per averci aiutato” (terimakasih tuan sudah membantu kami) timpal Emily. 
“Attenta, la borsa dovrebbe essere davanti” (hati-hati nona, sebaiknya tas harus ada dibagian depan). 
Emily dan Haura mengangguk paham. 
“Syukurlah ra, dompetmu masih bisa diselamatkan” “Iya, Alhamdulillah Em” Haura menatap punggung pria asing itu yg semakin menjauh. 
“Ayo ra ke Asrama” ajak Emily menggandeng tangan Haura. Suasana saat itu menjadi sunyi setelah kejadian itu. Haura terus memperhatikan jalanan dan memegang dompetnya. Emily pun mengerti dengan situasi ini dan hanya berjalan berdampingan dengan Haura sampai ujung pertigaan barulah mereka saling memberi salam sampai jumpa dan hati - hati. 
        Bunyi dering ponsel Haura menghentikan imajinasi Haura sejenak yang sedang merangkai kata - kata untuk puisinya. Ia merogoh ponsel di tas miliknya. Samarta, ibunya. Wanita paruh baya yg ia cintai. 
“Assalamua’laikum, Nak, apa kabar?”
“Waalaikum salam, Baik bun, bunda apa kabar?”
“Alhamdulillah baik nak. Nak perasaan ibu tadi pagi” *perbedaan waktu Indonesia dan Italia -6jam.
“Ara baik-baik saja bun, sudah makan bun?”
“Sudah ra, jaga dirimu baik-baik ya nak”
“InsyaAllah bun, doakan Ara bun,”
“Iya nak pasti, doa bunda selalu menyertaimu. Istirahatlah”
“Iya bun, bunda sehat - sehat ya”
“Iya, bunda tutup ya” Percakan singkat antara anak dan Ibu. Disisi lain Haura memikiran kejadian Sore tersebut. Ia menatap wajah pria asing tersebut lebih dari tiga detik. Ia seperti merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya yang sebelumnya belum pernah dirinya rasakan sebelumnya. Ia berpikir bahwa laki-laki itu berbeda. Seperti ada benang merah di ujung jarinya yang menyambung ke pria asing tersebut namun Haura menepisnya berulang kali dan berpikir tidak akan bertemu pria asing tersebut. 

CHAPTER 3



~ seperti Merpati yang telah memilih pasangannya, menjaga hati agar tidak goyah. begitu indah dengan rasa setianya, mencintai sampai akhir hayat. Izinkan aku menjadi merpati untukmu menjadikan cinta ini sebuah kesetiaan abadi. 
~untukmu musim dingin di bulan Desember
~untukmu musim hujan penghapus lara 
~ juga manisnya macchiato dan gurihnya rissoto keju malam ini. 

 Tujuh derajat celcius. Musim dingin di Venice. Hening dan tenang. Haura mulai menuliskan puisi-puisinya di perpustakaan Ca' Foscari University of Venice. Kali ini ia mau mencari referensi untuk tugasnya namun sebelum itu ia punya kebiasaan unik sebelum mengerjakan tugas-tugasnya. Ia akan mencari puisi dari Kahlil Gibran. Penulis puisi favoritnya, sebenarnya ia bisa cari di Internet namun ia memilih untuk membaca dari buku asli ketika ia membaca dengan buku aslinya Haura seperti berbicara lansung dengan penulisnya  . Ia berjalan menyusuri lorong perpustakaan, seolah ia telah hafal letak buku yang ia gemari itu. Ia mengambil buku puisi The mad Man. Ia mengambil buku tersebut namun ada seseorang yang mengambilnya pula, ia mengitip di celah buku sambil berjinjit begitu juga seseorang itu. Haura terkejut lalu mundur perlahan. Dia seorang pria asing itu. Pria asing yang telah melongnya. Disisi lain pria itu sebenarnya juga terkejut. Sudah hampir tiga bulan. Tapi mereka saling mengingat. Pria itu menghampiri Haura yang menjauh. Ia memberikan buku itu namun Haura menolaknya. 
“Eri quella ragazza?” (Apa kau gadis yang waktu itu?) Ia bertanya dengan suara yang pelan. Haura menggangguk saja. 
“Piacere di incontrarti di nuovo, sono Isac De Santis, come ti chiami ?” (Senang bertemu denganmu, namaku Isac De Santis, siapa namamu?) Masih dengan suara pelannya
“il mio nome è Mariyam Haura” (namaku Mariyam Haura) suara sangat pelan 
“Scusi”(maaf)  mata birunya menatap Haura. Haura mendunduk dan mengulangnya sekali lagi 
“Mariyam Haura” 
Isac tersenyum mendengar nama indahnya Haura. Akhirnya mereka duduk berdambingan dan sibuk dengan buku mereka masing-masing. Haura berpamitan pada Isac dan keluar, dengan buru-buru Ia mengikuti Haura tanpa sengaja ia membuat kursi jatuh dan seluruh orang yang berada di Perpustakaan melihatnya. Ia berlari mengejar Haura. 
“Mariyam” panggilnya dengan keras. Haura hanya diam tersenyum. Isac menghampirinya dan mengulurkan ponselnya. 
“Posso avere il tuo numero” (bolekah aku minta nomermu?) 
“Per che cosa?” (Buat apa?) Haura terkejut. 
“Mi sono appena ricordato che ho un progetto per intervistare amici stranieri, saresti uno di loro?” (Aku baru ingat aku punya project untuk wawancara teman asing, maukah kau jadi salah satunya?) 
Haura berpikir bahwa dia mau balas budi dengan Isac. Akhirnya Ia menganguk. Dan memberikannya. 
“Grazie, ti chiamo presto” (terima kasih, aku akan menghubungimu segara) Ucap Isac dengan senang. 
“Si, scusatemi scusate, devo andare perché c'è una conferenza” (Iya, saya permisi, saya ada kelas) 
“Ok, Mariyam”. 
***
“Mariyam tadi aku melihatmu dengan seorang pria” Tanya Emily setelah kelas. 
“Itu tadi diminta sebagai narasumbernya katanya mau wawancara Em” 
“Wah menarik Ra, apa aku juga boleh ikut jadi narasumbernya”
“Iya Em,” merapikan bukunya. 
“Udah janjian Ra?” 
“Belom Em”
“Abis ini mau kemana Ra?” 
“Mau ke Perpus”
“Perpus lagi Ra?
“Ada jurnal yang belum selesai aku baca”
“Okelah sampai ketemu di kelas keempat”
“Iya Em, kau sudah tugas dari mr. Bruno?”
“Batasnya kan masih seminggu ra, aku mau ngerjaiin besok aja” Haura hanya tersenyum dan meninggalkan Emily. 


CHAPTER 4 



~ ada banyak hal yang bisa mengubah hati, salah satunya hadirnya seseorang yang menanamkan benih cinta untukmu. Cinta itu selalu tumbuh tanpa kau sadari. Tersenyumlah untuk dia yang telah menanam cinta. 



Isac mencoba kembali mengirim pesan singkat untuk mariyam ketiga kalinya namun tidak ada respon sama sekali. Hal tersebut membuat Isac sedikit jengkel. 

“Dasar gadis sombong” ia membanting ponselnya. [Baru kali ini dicuekin gadis, biasanya semua gadis mengejarku. Aku akan menemuinya besok] batinnya dalam hati sambil merapikan rambut hazelnya. Lalu beranjak dari 


*keesokkan harinya 

Isac menunggu di lorong perpustakan dengan jaket tebal hitamnya, sambil menengok kesana-kemari. Ia telah satu jam di tempat itu namun ia tak menemukan keberadaan Mariyam sama sekali. Akhirnya ia beranjak dari tempat itu namun ia bertemu dengan dengan Emily. Isac menghampiri Emily. 

 “Hei Emily”

“Hola Isac”

“Emily, dimana Haura?”

[sialan kenapa si tanya-tanya gadis itu, kan gue lebih cantik dari Mariyam]

“Emily, apa kamu tahu?”

“Tadi, katanya mau ketemu sama pacarnya”

“Pacar? Jadi Haura sudah punya pacar”

“Iya dia sudah punya pacar”

[ngga masalah, punya pacar atau tidak, aku akan tetap mendekatinya]

“Kenapa Isac?”

“Pacarnya orang sini juga?”

“Entahlah, aku kurang tahu, sepertinya bukan” 

“Ya sudah, terima kasih Emily”

“Iya Isac”

Isac tampak kesal ia segera beranjak dari obrolan singkat itu, ia tampak berjalan buru- buru menuju caffe dan memesan Amerikano. Tanpa sadar ia melewati Mariyam. Mereka saling tak melihat di kerumunan banyak orang. Ia menyesapnya dengan cepat lalu meninggalkannya. [Aku akan mencarinya lagi!] . meskipun baru bertemu,  ia tidak tahu mengapa ia melakukan hal tersebut. Semuanya terasa ganjil tatkala bertemu dengan Mariyam. Ia merasakan getaran aneh yang sebelumnya ia tidak pernah rasakan. Ia tak pernah berhenti sekalipun membayangkan wajah Mariyam. Ia selalu terbanyang wajah lelah Mariyam yang berjongkok kala itu. Wajah yang begitu polos tanpa make up itu, begitu alami nan cantik. Rambutnya pendek bewarna hitam, bibirnya seperti kelopak mawar, pipinya gembul dan halus, kulitnya kuning lansat khas asia, matanya yang terpejam saat menyeka keringat di dahinya. Ketika kedua kalinya bertemu matanya saling menatap satu sama lain, mata lebar  berbulu panjang tak pernah hilang dari ingatnya. Ia menyukai wajah orientalnya. Rasanya ia tak ingin melewatkan untuk melihatnya. Ada hal yang selalu menarik untuk ia kulik dari gadis itu. 

Isac berjalan dengan perlahan dan mengamati sekitar gedung kampus sastra itu. Akhirnya ia menangkap sosok Mariyam yang duduk sudut taman sambil membaca bukunya. Isac menghampirinya dan duduk disampingnya namun Mariyam tetap fokus dengan bukunya. 

“Hai” 

“Ehhh” Mariyam terkejut

“Hello Haura”

“Hai Isac”

“Sedang apa kau disini? Menunggu pacarmu?”

“Hah? Maaf apa?”

“Sedang dimana dia?”

“Saya tidak menunggu siapapun”

“Benarkah? Kenapa kemarin tidak membalas pesanku Haura?”

“Maaf pesan apa Isac?” Mariyam heran

“Ini nomormu kan” Isac menunjukan pesannya

Haura merogoh ponsel di ranselnya lalu mengecek tak ada pasan masuk darinya

“Aku tidak menerima pesan apapun Isac” 

[Apa dia telah menghapus pesannya, padahal notifikasinya telah dibaca,  dasar bohong]

“Ya sudah lupakan saja Haura, aku ingin bicara tentang project wawancaraku bersamamu”

“Tentu Isac, bagaimana?”

“Apa kamu besok malam sibuk?”

“Sepertinya tidak terlalu”

“Baiklah bagaimana kalau kita bertemu di kafe x pukul 8pm”

“Baiklah”

“Aku tunggu, sampai jumpa besok Haura”

Haura tersenyum padanya. 


BERSAMBUNG...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hati Hitam

  Hitam Lentera itu masih padam Malam pekat menemani Hati kosong dan gelap Hati gelisah membucah Hari ini ia bercerita Dengarkanlah! Tentang...